Sebenarnya kasus
penggunaan formalin pada tahu, ikan asin, mie basah, ikan laut segar, daging
ayam segar hingga bakso, bukanlah berita baru, tetapi selalu berulang setiap
tahun. Ketika berbagai media heboh memberitakan hal tersebut, biasanya konsumen
akan ramai-ramai berhenti membeli dan mengosumsi makanan tersebut. Namun
biasanya hal itu hanya terjadi sesaat. Setelah berita mulai reda, maka produsen
akan kembali ke kebiasaannya yang lama, yaitu menggunakan formalin lagi.
Konsumen pun tanpa curiga kembali membeli dan mengkonsumsi produk berformalin.
Beberapa alasan mengapa
pengusaha senang menggunakan formalin. Penggunaan formalin pada tahu, mie
basah, dan ikan asin jenis cumi-cumi misalnya, tidak hanya mampu mencegah
kebusukan, tapi juga mampu mengawetkan dalam waktu lama, serta membuat tekstur
bahan pangan lebih kenyal. Juga membuat ayam dan ikan segar nampak lebih
bersih, putih dan berisi. Konsumen sendiri turut mendorong produsen menggunakan
formalin, karena umumnya konsumen menginginkan tahu yang keras dan kenyal, mie
yang kenyal,
daging ayam dan ikan yang tidak berbau, serta ikan asin yang putih dan bersih.
daging ayam dan ikan yang tidak berbau, serta ikan asin yang putih dan bersih.
Formalin telah dilarang
digunakan untuk bahan pangan. Hal itu telah diatur dalam permenkes No.722/Menkes/Per/IX/88.
Alasannya, pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada
tubuh manusia dengan gejala: sulit menelan, mual, sakit perut, yang akut
disertai muntah-muntah, diare berdarah, gangguan pada susunan saraf atau
gangguan peredaran darah.
Tata
cara perniagaan formalin sebenarnya telah diatur dengan surat keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.54/MPP/KEP/7/2000 dan impor formalin hanya
boleh dilakukan importir yang diakui Dirjen Perdangan Luar Negeri. Perusahaan
non pangan diperbolehkan mengimpor hanya untuk dipakai sendiri. Namun sampai
saat ini tidak ada pengawasan peredaran formalin di pasaran. Para pengrajin
atau pedagang tahu, mie, ikan, ayam, dapat membeli formalin dengan bebas di
toko bahan kimia tanpa pernah ditanya untuk keperluan apa. Pengawasan
penggunaan formalin pun tidak jalan, kalaupun ada, sifatnya hanya sementara
saja dan merupakan kegiatan proyek yang sangat tergantung pada ketersediaan
dana. Karena itu inspeksi di lapangan tidak bisa secara rutin dan terus menerus.
Tapi peraturan dan perundang-undangan ini tidak pernah dengan tegas
diberlakukan, Disisi lain, konsumen sendiri kurang cerewet, cepat lupa, dan
mudah memaafkan. Kondisi itu nampaknya dimanfaatkan benar oleh para pedagang
yang ingin mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Jadi konsumen sendirilah yang
nampaknya harus pandai-pandai menjaga diri dan keluarganya dari makanan
berformalin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar